Memaknai “Sabil” dan “Shirath” yang Sama-sama Berarti “Jalan”

Kata “jalan” seringkali disebutkan dalam bahasa Arab sebagai “sabil” dan “shirat”. Di dalam Al Qur’an sendiri, kata “sabil” sering disandingkan menjadi kalimat “sabilillah” yang artinya jalan Allah, sedangkan kata “shirat” sering dijumpai sebagai kalimat “shirath al mustaqim” yang artinya jalan yang lurus. Meskipun artinya sama-sama jalan, ternyata “sabil” dan “sirath” memiliki makna yang berbeda.

.

SABILILLAH

Sabilillah merupakan suatu “jalan” untuk mencapai ridho Allah SWT. Ridho Allah dapat diartikan sebagai apa-apa yang kita lakukan untuk membuat Allah SWT senang dan sayang kepada kita. Ridho Allah dapat dicapai jika kita mampu menghambakan diri hanya kepada Allah, dengan pembuktian melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Perintah Allah SWT ini dapat terlaksana dengan sempurna apabila dilaksanakan dalam suatu sistem Islam. Sistem Islam inilah yang kemudian disebut dengan “Sabilillah”.

Lawan Sabilillah adalah Sabili Thaghut. Thaghut sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang dijadikan sebagai “sesembahan” oleh manusia selain Allah SWT. Menurut Syaikh Muhammad Qutb, thaghut adalah seseorang, organisasi atau institusi, jamaah, tradisi, atau kekuatan yang menjadi panutan atau aturan manusia, dan manusia itu tidak dapat membebaskan diri dari perintahnya dan larangannya.

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan thaghut sebagai berikut.

  1. Setan yang mengajak manusia kepada jalan selain jalan Allah (Qs. Yasin: 60).
  2. Para penguasa zalim yang menolak hukum Allah (Qs. An Nisa: 51, 60).
  3. Institusi, organisasi, atau kelompok yang berhukum kepada selain hukum Allah (Qs. Al Maidah: 44, 45, 47).
  4. Kahin, dukun, peramal, atau “orang pintar” yang menyatakan diri mengetahui hal-hal yang ghaib (Qs. Al Jin: 26-27 dan Al An’an: 59).
  5. Segala sesuatu yang disembah selain Allah, dan mereka ridho sebagai sesembahan tersebut (Qs. Al Anbiya: 29).

Sebagai contoh, ketika Islam belum tegak di zaman Rasulullah SAW, yaitu masa-masa jahiliyah sampai sebelum momen fathu Makkah, perintah Allah SWT tidak dapat dilaksanakan secara sempurna meskipun sudah ada Rasulullah yang mengajarkan di sana. Misalnya saja shalat dan majelis ilmu, semua dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak dapat dilakukan secara sempurna, padahal seharusnya ada syiar Islam di sana. Itu baru perkara shalat, dan belum lagi dengan hukum-hukum lain yang jauh lebih kompleks. Penyebabnya karena Makkah pada saat itu masih menggunakan sistem Sabili Thaghut, meskipun sebagian besar mereka mengaku masih mengikuti agama yang lurus yang dibawa oleh Ibrahim ‘alaihissalam (Millah Ibrahim).

Dengan kata lain, perbedaan antara Sabilillah dan Sabili Thaghut terletak pada beberapa aspek. Yang pertama adalah dasar hukumnya. Dasar hukum Sabilillah adalah wahyu dari Allah berupa Kitabullah dan apa yang diajarkan kepada rasul-Nya atau As Sunnah, sedangkan dasar hukum Sabili Thaghut adalah selain dari Allah, yaitu bisa berupa pemikiran manusia (filsafat), hawa nafsu (hawahu), dzon atau persangkaan yang dianggap baik, ataupun hukum jahiliyah. Aspek selanjutnya adalah pemimpinnya. Pemimpin Sabilillah adalah Allah SWT, sedangkan Sabili Thaghut adalah syaitan. Sedangkan masyarakat yang dipimpin oleh Sabilillah adalah masyarakat Al Muslimun, sedangkan masyarakat Sabili Thaghut adalah Al Kafirun dan Al Musyrikin.

Sabilillah merupakan sarana dan prasarana untuk terlaksananya pengabdian kepada Allah SWT. Amal manusia bisa jadi tidak akan diterima jika tidak berada di dalam Sabilillah. Beberapa contoh amalan di dalam Al Qur’an yang disandingkan dengan kata Sabilillah adalah sebagai berikut.

  1. Infaq

Di dalam Qs. Al Baqarah: 195 disebutkan bahwa “Dan berinfaqlah di jalan Allah (infaq fii sabilillah), dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,…

Kewajiban seorang muslim adalah membelanjakan harta di jalan Allah. Harta dibelanjakan di jalan Allah melalui empat cara, yaitu zakat, infaq, shadaqah, dan qaridhah. Zakat dan infaq hukumnya wajib dan harus tunai pelaksanaannya. Tunai di sini berarti tepat jumlahnya, tepat waktunya, dan tepat sasarannya. Apabila ketiganya tidak tercapai, salah-salah kewajiban zakat kita masih belum tunai sehingga tidak dinilai oleh Allah SWT. Bahkan, shadaqah yang sifatnya sunnah pun, apabila tidak tepat pelaksanaannya, tidak akan bernilai ibadah, melainkan hanya mendapat nilai sosial saja (misal dianggap dermawan oleh masyarakat).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di dalam Qs. Al Baqarah: 177.

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 177).

Ayat ini menjelaskan bahwa kebajikan (atau amal sholeh) bukanlah diartikan sempit hanya melaksanakan shalat saja (mengahadapkan wajah ke timur dan barat), melainkan juga melaksanakan rukun iman yang enam. Selain itu, harta yang disedekahkan juga harus tepat sasaran, yaitu diberikan kepada orang yang tepat dan dalam bentuk yang paling baik (yang dicintai). Tak hanya itu, sasaran penerima sedekah pun tetap ada syaratnya. Tidak sembarang orang miskin dan peminta-minta, tetapi juga mereka yang melaksanakan shalat, menunaikan zakat, amanah jika berjanji, dan senantiasa bersabar dalam kekurangan.

Maka, dari sini pun kita jadi merenung. Kira-kira, jika harta yang kita miliki disedekahkan kepada sembarang pengemis/pengamen di jalanan yang tidak jelas shalat atau tidak, dan tidak bersabar dengan keadaan mereka dengan menjadikan peminta-minta sebagai suatu profesi, apakah yang demikian itu bakal diterima oleh Allah SWT? Apakah yang demikian itu bisa dikategorikan sebagai infaq fii sabilillah? Lalu bagaimana dengan infaq kita selama ini?

  1. Dakwah

Di dalam Qs. An Nahl: 125, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu (ud’u ila sabili Rabbika) dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik,…

Kata “serulah” di sini mengandung perintah untuk berdakwah. Dakwah sendiri tidaklah sekadar ceramah atau tablig yang sekadar sharing atau menyampaikan saja. Di dalam berdakwah, ada kegiatan atau pekerjaan yang bersifat lebih aktif, yaitu mengajak dan menyeru. Menyeru ke mana? Tentu saja menyeru kepada jalan Allah.

Di dalam Qs. An Nahl: 125, Allah SWT mengganti kalimat Sabilillah menjadi “Sabili Rabbika” yang memiliki makna yang sama. Artinya, dalam berdakwah tujuan akhirnya jelas, yaitu mengajak manusia untuk kembali kepada jalan Allah, yaitu sistem Islam. Sistem hidup yang mungkin tadinya sempat menyimpang atau terkontaminasi dengan thaghut, harus diajak untuk kembali menjadi Sabilillah.

Mengajak manusia ke jalan Allah dengan hikmah artinya, mengajak menggunakan dalil dan wahyu yang bersumber dari Allah SWT dan bukanlah dengan hawa nafsu dan pemikiran manusia. Sedangkan mengajak dengan pengajaran yang baik adalah mengajak dengan cara yang lemah lembut, tidak memaksa, dan menerapkan seni-seni dalam berdakwah. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tatkala berdakwah. Teknik berdakwah kepada pembesar Quraisy tentu berbeda saat beliau berdakwah kepada kaum Arab Badui. Itulah seni dalam berdakwah.

  1. Perang

Allah SWT berfirman di dalam Qs. Al Baqarah: 244, “Dan berperanglah kalian di jalan Allah (qatilu fii sabilillah) dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Berjihad atau berjuang membela kebenaran harus berada di dalam Sabilillah. Berperang di sini tentu saja dalam rangka membela Al Haq dan syariat Islam. Perang tidak dilakukan sembarangan atau sekadar untuk mempertahankan wilayah kekuasaan (duniawi) saja. Betapa besarnya nilai jihad jika benar dilakukan fii sabilillah di hadapan Allah SWT.

***

SHIRATH AL MUSTAQIM

Kata shirath dimaknai sebagai jalan hidup. Jalan hidup adalah suatu jalan yang ditempuh oleh seseorang ketika masih hidup di dunia untuk kembali kepada Tuhannya. Jadi, shirath al mustaqim yang dimaksud di sini hanya ada di alam dunia saja. Bukan di alam akhirat setelah kita tiada, apalagi yang kerap kali kita kenal dengan titian rambut dibelah tujuh. Bukan itu yang dimaksud.

Berdasarkan Qs. Al Fatihah, ada tiga macam jalan hidup yang ditempuh oleh manusia semasa di dunia. Yang pertama adalah shirath al mustaqim. Shirath inilah yang selalu kita mintakan kepada Allah setiap kali kita shalat. Mereka yang berada di dalam shirath al mustaqim disebut sebagai mukminin. Motivasi mereka hanyalah karena Allah, dan tujuan hidupnya adalah mengharap ridha Allah.

Yang kedua adalah shirath al maghdlub, yaitu jalan orang-orang yang mendapat murka Allah SWT. Dikatakan mendapat murka karena mereka nekat menempuh jalan yang bertentangan dengan petunjuk Allah. Mereka mendustakan dan ingkar kepada ayat-ayat Allah, bahkan berusaha menghalangi Sabilillah dan orang-orang yang berada di dalamnya. Mereka yang mendapat murka kelak akan ditempatkan di dalam neraka (lihat Qs. Al Baqarah: 39). Mereka yang berada di dalamnya disebut sebagai kafirin. Motivasi mereka bukanlah karena Allah, dan tujuan hidupnya hanya sekadar untuk materi (duniawi).

Yang ketiga adalah shirath ad dlallin, yaitu jalan orang-orang yang sesat. Dikatakan sesat karena mereka tidak mengikuti petunjuk dari Allah sehingga semakin menjauh dan menyimpang dari aturan Allah. Mereka adalah orang yang menduakan Allah, baik dalam hal rubbubiyah, uluhiyah, maupun mulkiyah. Mereka yang sesat dan menduakan Allah, tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT (lihat Qs. An Nisa: 116). Mereka yang berada di dalamnya disebut sebagai musyrikin. Motivasi mereka bisa jadi karena Allah namun ada motivasi lain yang turut menodai. Tujuan hidupnya adalah kedamaian/ketenteraman (surga/nirwana).

Satu-satunya jalan hidup yang benar menurut Allah SWT adalah shirath al mustaqim. Untuk berada di dalamnya, tentulah kita perlu mengetahui apa saja kriteria jalan yang lurus itu. Maka, seseorang dikatakan berada di jalan yang lurus (shirath al mustaqim) jika:

  1. Mengabdi Hanya Kepada Allah SWT

Seseorang dikatakan berada pada “shirath al mustaqim” jika seluruh aktivitas dalam hidupnya senantiasa hanya untuk beribadah kepada Allah. Sesuai dengan bunyi syahadat, Ilah yang berhak disembah hanyalah Allah. Namun pada prakteknya, manusia kerap kali luput dan tanpa sadar menyembah selain Allah. Bentuk ilah yang sering kali masih dijadikan sesembahan selain Allah adalah hawa nafsu, jin dan setan, berhala atau totem, manusia, thaghut, para nabi dan malaikat, serta rahib atau ulama. Bentuk pengabdiannya adalah melaksanakan ibadah bukan karena Allah, melainkan karena dzat-dzat tersebut.

  1. Menjadikan Islam Sebagai Aturan Hidup

Sejatinya Islam adalah satu-satunya agama di muka bumi yang diridhai oleh Allah SWT. Aturan Islam tidak mencakup ibadah saja, tetapi juga seluruh aspek hidup harus berdasarkan hukum Islam. Mereka yang masuk ke dalam Al Islam, adalah mereka yang mendapat petunjuk dari Allah. Tindakan memilih Islam sebagai jalan hidup inilah yang disebut dengan “shirath al mustaqim”.

Allah SWT berfirman dalam Qs. Al An’am ayat 125. “Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Artinya, mereka yang mendapat hidayah akan masuk ke dalam Din Islam. Sedangkan mereka yang dikehendaki sesat (menolak Al Islam), hidupnya akan senantiasa terasa hampa, tanpa arah tujuan, dan selalu merasa ada yang kurang, seakan mendaki langit yang tiada ujungnya.

  1. Mengikuti Ajaran Nabi dan Rasul

Sebagai “Rajanya manusia”, Allah SWT memiliki utusan (rasul) yang diberi tugas untuk menegakkan agama Allah (Dinullah). Jalan dakwah yang ditempuh oleh para rasul inilah yang disebut “shirath al mustaqim”.

Sebenarnya salah jika kita menganggap semua nabi memiliki pokok ajaran masing-masing. Padahal, dari seluruh nabi dan rasul sejak nabi Adam a.s. hingga nabi Muhammad SAW, beliau semua membawa ajaran tauhid (Al Islam), yaitu hanya untuk menyembah Allah SWT saja. Buktinya ada pada Qs. An Nahl: 36 yang artinya, “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut,…

Nabi Ibrahim a.s. sebagai bapaknya para nabi, sejatinya memilih Al Islam sebagai jalan hidupnya. Pada Qs. Al Baqarah ayat 131, nabi Ibrahim a.s. mengikrarkan dirinya sebagai seorang muslim (syahadat tauhid) di hadapan Allah SWT.

(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), “Berserah dirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.”

Kemudian pada ayat 132 selanjutnya, nabi Ibrahim a.s. bahkan mewasiatkan kepada anak cucunya untuk senantiasa berada di dalam Al Islam hingga ajal menjemput. Disebutkan pula nama nabi Ya’qub yang notabene-nya juga memiliki keturunan-keturunan yang menjadi nabi, termasuk nabi Musa a.s. dan nabi Isa a.s. yang dianggap oleh sebagian besar orang “beragama” Yahudi dan Nasrani.

Padahal, nabi Ya’qub dan keturunannya pun memeluk Al Islam. Mari ingat kembali bahwa nabi Ibrahim a.s. memiliki dua anak yang menjadi nabi, yaitu nabi Ismail a.s. dan nabi Ishak a.s. Pelajari kembali garis keturunan beliau semua, insyaa Allah ada banyak hikmah di dalamnya bagi orang-orang yang berpikir. Wasiat nabi Ibrahim kepada anak cucunya sangat tegas, yaitu tak boleh mati kalau bukan muslim. Padahal siapa yang tahu kapan waktunya maut akan menjemput? Yakin sudah muslimkah kita?

Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.

***

Berdasarkan penjelasan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa shirath adalah jalan hidup yang akan dipilih. Orang yang ingin selamat dunia akhirat, tentu akan memilih shirath al mustaqim. Jalan lurus yang dimaksud di sini adalah Al Islam. Sedangkan sabil adalah sarana prasarana dalam menapaki shirath tersebut.

Orang yang bukan berada di shirath al mustaqim, dapat dipastikan tidak berada di dalam Sabilillah. Namun, orang yang berada di shirath al mustaqim, juga belum tentu berada di dalam Sabilillah.

Maka, tugas kita sebagai orang yang mengaku telah berada di shirath al mustaqim (Al Islam), adalah senantiasa menjalankan segala apapun di jalan Allah (Sabilillah).

Ya, shirath al mustaqim adalah Al Islam, maka Sabilillah adalah sistem Islam yang seharusnya senantiasa dilaksanakan oleh semua umat muslimin.

.

estEtika

Author: estEtika

A secret makes a woman woman

Leave a comment