Seminar Gizi Nasional: Investasi Gizi Sebagai Jawaban Tantangan Kesehatan Indonesia

Hari Sabtu, 31 Oktober 2015 lalu, ada sebuah acara yang digelar di Auditorium RIK UI pukul 09.00–14.00 yang bertajuk Seminar Gizi Nasional: Investasi Gizi Sebagai Jawaban Tantangan Kesehatan Indonesia. Seminar ini diisi oleh dua orang Pembicara Utama, yaitu (1) Prof. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, Sp.M selaku Menteri Kesehatan Indonesia yang diwakilkan oleh Bapak Anung, tentang Investasi dalam Bidang Gizi Sebagai Komponen Penting dalam Pembangunan di Indonesia; dan (2) Dr. Surya Chandra Surapaty, MPH, PhD selaku Kepala BKKBN yang diwakilkan oleh Ibu Rahayu, tentang Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Bonus Demografi.

Para Panelis dan Moderator pada Seminar Gizi Nasional 2015
Para Panelis dan Moderator pada Seminar Gizi Nasional 2015

Selain itu, ada juga empat orang panelis, yaitu (1) Ir. Doddy Izwardy, MA selaku Direktur Bina Gizi Kemenkes RI, yang memaparkan tentang Strategi Indonesia dalam Pencapaian Target World Health Assembly 2025; (2) Dr. Lily S. Sulistyowati, MM selaku Direktor Pengendalian PTM Dirjen PPPL yang diwakilkan oleh Ibu dr. Lily Banonah Rivai, yang membahas tentang Pencegahan PTM dalam Pendekatan Daur Kehidupan; (3) Safarina Malik, DVM., MS., PhD selaku Perwakilan dari Lembaga Biologimolekuler Eijkman yang memaparkan tentang Interaksi Zat Gizi dan Gen: Suseptibilitas PTM dan Upaya Pencegahannya dari Sudut Nutrigenomik; serta (4) Ir. Lilis Nuraida dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tentang Pemanfaatan Pangan Fungsional dalam Pencegahan dan Penanggulangan PTM.

Sebelum masuk ke Pembicara Utama dan para Panelis, sesi seminar diawali dengan sambutan dari perwakilan Departemen Gizi UI dan perwakilan dari FKM UI yang menunjuk Prof. Kusharisupeni selaku Kepala Departemen Gizi dan dr. Agustin selaku Dekan FKM UI. Namun, pada kesempatan ini keduanya diwakilkan oleh Ibu Trini Sudarti dan Bapak Syahrizal Syarif yang juga menjabat sebagai dosen dan pengajar di FKM UI ini. Aaaaa… Nostalgia banget rasanya! Apalagi saat beberapa dosen gizi saya ikut masuk ke dalam ruangan. Sayangnya, saya tidak sempat menyapa karena posisi duduk yang jauh dan situasi yang memang tidak memungkinkan T_T

Bu Trini dan Pak Syahrizal sendiri menerangkan latar belakang dilaksanakannya seminar ini dan diambilnya tema tersebut. Menurut Bu Trini, Indonesia masih terbilang kalah jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia, termasuk di kawasan Asia sendiri. Bahkan, untuk skor baca dan pengetahuan pelajaran lain seperti matematika, Indonesia masuk ke urutan 64 dari 65 negara! Hiks, syedih. Kalau Pak Syahrizal lebih menekankan ke usia harapan hidup. Masih banyak penduduk Indonesia yang meninggal sebelum umur 70 tahun (dalam hal ini karena masalah kesehatan), yang dianggap sebagai “waktu kematian yang diharapkan”. Ketika seseorang meninggal di usia 50 tahun akibat penyakit tidak menular (PTM) misalnya, maka secara tidak langsung orang itu bisa dikatakan telah kehilangan 20 tahun untuk memaksimalkan usia produktifnya. Meskipun pada dasarnya kematian itu tentu saja karena ketentuan Allah, ya 🙂

***

Bapak Anung selaku perwakilan Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa pembangunan manusia Indonesia harus dilakukan dari anak hingga lansia, yaitu di seluruh sisi daur kehidupan. Gizi adalah salah satunya, karena gizi berkaitan juga dengan kesehatan. Seseorang dengan gizi salah (baik kurang maupun lebih) akan berisiko sakit sehingga menurunkan kualitas SDM. Salah satu masalah utama di Indonesia yang tertera pada GNR (Global Nutrition Report) adalah (1) stunting, wasting, dan overweight; (2) Amenia, kurang vitamin A (KVA), gangguan akibar kurang iodium (GAKI), dsb.; (3) Cakupan yang rendah untuk 3 dari 5 intervensi (yaitu IMD, ASI eksklusif, pemberian TTD alias Tablet Tambah Darah bagi bumil); dan (4) Stunting serta anemia pada WUS alias Wanita Usia Subur. Selain itu, ada pula double burden problems atau munculnya dua masalah sekaligus, yaitu gizi kurang yang berpotensi terhadap penyakit infeksi dan gizi lebih yang berpotensi terhadap penyakit tidak menular (PTM).

Kenapa sih perlu adanya investasi gizi? Karena gizi juga berkaitan dengan masalah HAM, tumbuh kembang anak yang optimal, dampak antargenerasi, dan manfaat perekonomian. Adapun menurut Konsensus Copenhagen, cara cerdas mengalokasikan uang adalah dengan investasi di bidang gizi. Salah satunya adalah dengan memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan kesehatan serta kesejahteraan penduduk. Ada 2 macam investasi di bidang gizi, (1) Investasi Spesifik, yaitu investasi yang menekankan pada masalah 1000 hari pertama kehidupan; dan (2) Investasi Sensitif, yaitu investasi lintas sektor pada bidang-bidang yang berkaitan dengan gizi, seperti bidang pertanian, kesehatan, dan sebagainya.

Terakhir, seiring berakhirnya MDG alias Millenium Development Goals tahun 2015, sekarang ini sudah ganti jadi SDG alias Sustainable Development Goals tahun 2030. (Beruntung juga saya ikut seminar ini, jadi inget kalau MDG udah berakhir dan tahu kalau gantinya namanya SDG). Nah, masalah Gizi sendiri, khusus ada di tujuan nomor 2 SDG dengan bunyi “Tanpa Kelaparan”, yaitu tidak ada lagi kelaparan, mencapai ketahanan pangan, perbaikan gizi, serta mendorong budidaya pertanian yang berkelanjutan.

***

Ibu Ir. Ambar Rahayu, MNS, selaku perwakilan dari ketua BKKBN, menjelaskan tentang masalah bonus demografi. Sebelum membahas tentang bonus demografi, ada yang dinamakan dengan rasio ketergantungan. Rasio ketergantungan adalah rasio antara usia non produktif dibanding usia produktif. Adapun usia non produktif adalah usia 0–14 tahun dan lebih dari 65 tahun, sementara usia produktif adalah 15–64 tahun. Nah, yang disebut dengan bonus demografi adalah perbandingan usia produktif yang lebih besar daripada usia non produktif.

Menurutnya, saat ini rasio ketergantungan di Indonesia sudah mencapai 50%. Artinya, ada kemungkinan tahun-tahun ke depan Indonesia akan mengalami bonus demografi, yaitu saat jumlah orang-orang dengan usia produktif lebih banyak daripada usia non produktif. Nah, bonus demografi inilah yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik untuk menggali potensi SDM dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Sayangnya, menurut data, meskipun rata-rata lama waktu kerja di Indonesia termasuk terbilang tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, kualitas dan produktivitas kerjanya masih sangat kurang. Nah, kelemahan dan celah ini yang seharusnya bisa dimodifikasi menjadi lebih baik untuk memanfaatkan bonus demografi tadi sebaik-baiknya.

Sebenarnya pada kesempatan ini Ibu Ambar lebih banyak menyajikan, membahas, dan membandingkan data-data demografi Indonesia dan negara-negara lain. Saya tidak berani memaparkan lebih detail untuk menghindari kesalahan data dan interpretasi. Namun, secara garis besar paparannya bagus banget! Banyak tabel dan grafik yang menunjukkan secara langsung bagaimana keadaan negara kita sekarang ini jika dibandingkan dengan negara-negara lain 🙂

***

Masuk ke sesi para Panelis. Panelis pertama adalah Ir. Doddy Izwardy, MA selaku Direktur Bina Gizi Kemenkes RI. Nah, paparannya ini nggak jauh beda sama paparan Bapak Anung selaku perwakilan dari Menteri Kesehatan RI. Yah, secara, sama-sama dari pemerintahan yang berinduk langsung ke Menkes RI, sebagian besar isinya sudah barang tentu serupa banget.

Oh iya, yang perlu digarisbawahi di sini, Pak Doddy sempat mengatakan bahwa beliau membuka dengan sangat lebar untuk para mahasiswa sebagai agent of change, khususnya mahasiswa gizi dan kesehatan, untuk turut serta membantu dalam bidang gizi dan kesehatan. Beliau juga bilang kalau menunggu dan berharap banget sama proposal-proposal para mahasiswa ke Bina Gizi, lho. Yah, siapa tahu ada proposal terkait dari rekan-rekan mahasiswa yang bisa dilayangkan ke sana. Eh tapi ini proposal untuk program gizi dan kesehatan, lho ya, bukan proposal-proposal yang lain, hahaha…

***

Masuk ke panelis kedua, yaitu dr. Lily Banonah Rivai selaku Kasub Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Nah, mulai dari panelis kedua ini, mulai berasa banget kuliahnya, nih. Soalnya, mulai ada teori dan pembahasan yang nyerempet banget sama materi-materi kuliah gizi. Salah satunya adalah tentang etiologi dan faktor risiko penyakit tidak menular alias PTM. Ada faktor yang tidak bisa diubah, yaitu genetik, umur, dan jenis kelamin, serta faktor yang bisa diubah, seperti status gizi, 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK), perilaku, lingkungan, dan kebijakan atau regulasi.

PTM sendiri merupakan akumulasi dari rentang waktu yang lama. Bisa sejak lahir sampai dewasa, sejak balita sampai lansia, atau bahkan sejak lahir sampai lansia. Namun, PTM sendiri pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor yang tidak bisa diubah saja, melainkan harus ada faktor pencetus lain, misalnya gaya hidup. Orang yang punya gen PTM, misalnya, bisa saja nggak mengalami gejala PTM selama gaya hidup dan lingkungannya nggak jadi pencetus munculnya PTM tersebut.

Salah satu PTM penyebab kematian utama di Indonesia adalah stroke, PJK, diabetes melitus, dan kanker. Dari data yang ditampilkan, tren penyebab kematian utama di Indonesia mulai bergeser sejak beberapa tahun terakhir ini, lho. Pada beberapa tahun yang lalu, penyebab utama kematian di Indonesia adalah ISPA dan beberapa penyakit infeksi yang lain. Namun, seiring bertambahnya tahun, survei membuktikan bahwa PTM yang tadinya ada di urutan kesekian, semakin naik hingga akhirnya menduduki peringkat teratas, yaitu penyakit stroke sebagai penyakit penyebab utama kematian di Indonesia! Hmmm…

Nah, salah satu faktor risiko yang bisa diubah untuk menghindari PTM adalah perilaku. Adapun perilaku itu sendiri bisa diubah dengan banyak cara, salah satunya adalah promosi kesehatan, yaitu dengan seminar semacam ini, penyuluhan, FGD, dan sebagainya. Di sini, nih, salah satu peran gizi dalam mengubah perilaku.

Oh iya, ada catatan menarik nih, tentang salah satu kampanye mereka dalam mengubah perilaku untuk menghindari PTM. Adalah dengan selogan gula-garam-minyak 4-1-5. Maksudnya adalah penggunaan maksimal bahan-bahan tersebut dalam sehari, yaitu gula 4 sdm sehari, garam 1 sdm sehari, dan minyak 5 sdm sehari. Eh tapi tunggu dulu, nggak semudah itu mengartikan gula-garam-minyak dalam arti yang sebenarnya harus dimakan sebanyak itu dalam takaran sendok. Gula di sana juga termasuk sirup atau bahan pemanis lainnya; garam di sana juga termasuk MSG atau bumbu bernatrium lainnya; dan minyak di sana tentu saja termasuk makanan-makanan yang digoreng (bukan makan minyak mentah 5 sdm, lho ya, hahaha). Dan sayangnya, rata-rata konsumsi masyarakat Indonesia masih melebihi anjuran tersebut.

***

Panelis ketiga adalah Ibu Safarina Malik, DVM., MS., PhD dari Lembaga Biologimolekuler Eijkman. Wow! Ibu ini memaparkan materi dengan sangat cepat, ringkas, dan terlihat sangat menguasai! Meleng sedikit, bisa nggak nyambung nih, sama yang beliau omongin. Slide-nya pun pakai bahasa Inggris meski Alhamdulillah-nya beliau ngejelasin pakai bahasa Indonesia. Namun, buat saya pribadi materi ini menarik sekali! Dan saya merasa beruntung pernah mengerjakan salah satu buku berbahasa Inggris yang terkait dengan gizi dan genetika, yang terbilang cukup baru ini. (Meski ada Dasar-Dasar Genetika, sewaktu kuliah dulu belum ada mata kuliah Nutrigenomik soalnya). Istilah bahasa Inggris yang muncul, seperti SNP, polimorfisme, dan lainnya masih cukup nyambung, lah, gara-gara buku yang pernah saya kerjakan itu.

Ibu Safarina menjelaskan definisi nutrigenomik dengan menggunakan gambar, yaitu [zat giziàgenetikà tubuh manusia], yang berarti efek yang ditimbulkan suatu makanan yang dikonsumsi terhadap ekspresi gen yang muncul sebagai fenotipe di tubuh manusia. (Saya coba buat permisalan sendiri dengan konsumsi banyak gula, bisa menyebabkan ekspresi gen timbulnya resistansi insulin, yang akhirnya muncul fenotipe hiperglikemia). Sedangkan nutrigenetik adalah [genetikàzat giziàtubuh manusia], yaitu pengaruh genetik terhadap makanan yang dikonsumsi dengan manifestasinya kepada tubuh manusia. (Saya coba buat permisalan orang yang punya gen intoleransi laktosa, maka yang akan terjadi setelah minum susu adalah diare; semoga contoh-contoh yang dibuat nggak salah, ya, hehe).

Intinya, genetik itu juga bisa memengaruhi respons terhadap makanan, yang secara luas juga bisa memengaruhi terhadap intervensi gizi yang diberikan. Orang pesisir yang sering makan ikan, misalnya, respons tubuhnya terhadap makanan ternak atau pegunungan bisa saja berbeda dibandingkan orang dataran rendah dan pegunungan yang udah lebih terbiasa. Pun, begitu juga sebaiknya.

Yang menarik, Ibu Safarina dan rekan-rekan Eijkman pernah melakukan penelitian genetik di Indonesia, dan dipilihlah tempat di Bali. Alasannya, karena masyarakat Bali cenderung menikah dengan orang sesama Bali, sehingga variasi genetiknya lebih kecil. Hooo… setelah dipilih beberapa wilayan di Bali, yang dibagi dengan kategori rural dan urban, kelihatan bedanya, lho, antara gen orang rural dan gen orang urban terkait responsnya terhadap makanan. Padahal gen mereka sama-sama gen orang Bali, kan? Oh iya, gen yang diteliti di sini gen yang berhubungan dengan respons terhadap makanan, loh ya. Ada beberapa nama gen tuh, saya pernah baca di buku yang saya kerjakan, tapi lupa karena namanya susah dan dibuat kaya semacam kode-kode gitu. Misalnya saja gen yang bereaksi terhadap konsumsi glukosa dikasih nama Glucxxx suatu angka apaaa gitu, untuk glutamin gen Glutxxx atau semacamnya, untuk gen lemak ada lagi nama yang lain, dan sebagainya, dan sebagainya. Hmmm… ilmu baru, nih 🙂

***

Yuhuuu dan masuk ke Panelis terakhir, yaitu Ibu Lilis Nuraida dari IPB. Nah, paparan ini nih, yang jadi faforit saya selain Ibu Safarina tadi. Beliau memaparkan tentang pangan fungsional. Jadi, pangan fugsional itu apa, sih? Pangan fungsional adalah pangan yang nggak cuma mengenyangkan alias bertindak sebagai sumber energi, tetapi juga punya fungsi-fungsi yang lain, yaitu dapat menjaga kesehatan, menurunkan efek terhadap penyakit, dan bisa mengobati penyakit tertentu.

Ada berbagai definisi yang lain, yaitu pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional, dan yang berdasarkan kajian ilmiah memiliki fungsi fisiologis tertentu, bermanfaat, dan tidak membahayakan. Pangan fungsional ini bentuknya bukan suplemen atau tablet dan kapsul, melainkan masih dalam bentuk pangan, meskipun bisa juga dalam bentuk makanan fortifikasi dan makanan yang diperkaya (fortified and enriched food).

Syarat pangan fungsional adalah harus punya 3 hal ini, yaitu sensori, gizi, dan fungsi. Sensori dalam arti pangan fungsional harus menarik dan bercita rasa sehingga memicu keinginan untuk memakannya. Gizi tentu saja terkait kandungan gizi yang ada di dalamnya. Sedangkan fungsi adalah pangan tersebut secara fisiologis memiliki pengaruh terhadap tubuh. Selain itu, pangan fungsional juga harus berasal dari bahan alami pangan itu sendiri (bukan suplemen), dikonsumsi sebagai menu sehari-hari (mudah diperoleh), dan memiliki daya cerna yang baik.

Suatu makanan bisa diurutkan dari fungsinya, yaitu (1) Pangan, (2) Pangan Fungsional, (3) Suplemen, (4) Obat. Gambarannya, orang sehat hanya butuh fungsi (1) Pangan sebagai sumber energi, tapi orang sehat juga butuh (2) Pangan Fungsional untuk meningkatkan kualitas makanannya. Lalu, orang sehat yang punya kelemahan tertentu, akan membutuhkan fungsi (3) Suplemen untuk meminimalisasi kelemahan-nya tersebut, misalnya sehat tapi tidak bugar butuh vitamin C atau multivitamin. Dan terakhir, orang yang sakit, tentu butuh fungsi (4) Obat untuk menyembuhkan penyakitnya.

Proses pembuatan pangan fungsional adalah sebagai berikut. Yang pertama, pangan diekstrak sehingga dihasilkan zat gizi tertentu yang mendominasi ekstrak makanan tersebut. Dari ekstrak tersebut bisa dibuat suplemen dalam bentuk kapsul atau tablet, tapi ingat, ini bukan yang termasuk pangan fungsional. Nah, untuk pangan fungsional sendiri, ektrak bahan makanan tersebut kemudian bisa (1) ditambahkan secara langsung atau (2) diikutsertakan ke dalam proses pembuatan suatu makanan lain yang kandungan gizinya berbeda. Yah, sebut saja ekstrak stroberi yang ditambahkan secara langsung ke roti atau diikutsertakan ke dalam proses pembuatan biskuit untuk menambah kandungan vitamin C dalam kedua makanan kaya karbohidrat tersebut. Itulah salah satu contoh pangan fungsional, yang berhasil menggabungkan kandungan karbohidrat dan vitamin C dalam satu makanan 🙂

Salah satu pangan fungsional kebanggaan kita adalah tempe! Selain bikin kenyang, tempe juga punya fungsi menjaga kesehatan lewat kandungan serat yang bisa memelihara fungsi saluran pencernaan dan kandungan protein yang mampu memperbaiki sel-sel yang rusak. Selain itu, tempe juga bisa menurunkan efek terhadap penyakit dan mengobati penyakit tertentu lewat kandungan antioksidan dan fitokimianya yang tinggi. Bahkan, sekarang ini di Jepang dan Belanda udah banyak banget penelitian tentang manfaat kesehatan tempe, lho. Sebagai penghasil asli tempe, Indonesia patut melestarikan konsumsi makanan sehat bergizi murah meriah ini, ya 😉

***

Oke, mungkin itu saja rangkuman tentang Seminar Gizi Nasional kemarin. Benar kata Pak Kusdinar, salah satu dosen terfaforit saya yang menjadi moderator kemarin. Ikut seminar ini insya Allah ada manfaatnya, nggak sia-sia. Hehehe, setidaknya manfaat yang saya dapatkan adalah saya jadi ikut me-refresh dan tahu banyak hal baru lewat seminar ini. Sambil saya mengingat dan belajar lagi, semoga tulisan ini bisa bermanfaat juga buat yang lain 🙂

Sebenarnya, sebelum sesi paparan Panelis, ada juga paparan dari enam orang mahasiswa gizi. Hihi, jadi berasa nostalgia, presentasi dengan style seperti itu. Secara umum presentasinya bagus, kok. Materinya bertindak sebagai materi pengantar untuk materi-materi yang dijelasin para Panelis tadi. Salut!

Oh ya, tulisan ini hanya dibuat dari catatan-catatan kecil yang saya buat selama seminar, bukan langsung dari slide presentasi para pembicara yang sebenarnya bisa diunduh oleh peserta. Semoga nggak ada kesalahan. Kalaupun ada, feel free untuk dikoreksi di kolom komentar, yaa… 😉

estEtika

Author: estEtika

A secret makes a woman woman

Leave a comment